Rasanya belum lama sejak Banda Neira, duo musik folk di mana dia bernaung, diberitakan bubar. Tiga tahun kemudian, Rara Sekar sedang sibuk dengan proyek fotografi, musikal, dan berkebun.

Sejak peluncuran “Luruh”, soundtrack film Milly & Mamet yang diciptakannya bersama sang adik, Isyana Sarasvati, dia sering diperbandingkan dengan Isyana yang merupakan penyanyi pop paling ternama di Indonesia. Tapi sejujurnya, ketika Isyana menciptakan lagu soul-pop yang catchy, Rara adalah seorang musisi folk. Jadi kalaupun Anda menyandingkan mereka, keduanya adalah vokalis yang berbeda dalam cara unik mereka sendiri.

Dengan peluncuran EP bersama Daramuda—yang termasuk dua trek “Growing Up” dan “Apati”—penyanyi dan penulis lagu ini akhirnya kembali menemani telinga kita dengan musiknya. Kami bertemu Rara di hari yang cerah untuk membicarakan kekuatan yang dimiliki oleh musik, isu sosial yang dia dalami, sampai hobi berkebunnya.

Rara Sekar sang Pendongeng

 

Bisakah perkenalkan diri Anda sedikit?

Saya Rara Sekar, seorang peneliti, mentor, dan musisi paruh waktu.

Selamat untuk peluncuran EP dengan Daramuda! Bisakah ceritakan bagaimana Danilla Riyadi, Sandrayati Fay, dan Anda memutuskan untuk membuat proyek kolaboratif ini?

Daramuda itu adalah hasil comblangan. Seperti ta’aruf [terkekeh] yang berhasil kalau kata Danilla. Kami bertiga bertemu karena masing-masing membuat musik dengan gitar buatan lokal dari Secco. Awalnya, tim Secco punya ide untuk membuat album kompilasi dari tiga musisi erempuan yang menggunakan gitar sebagai instrumen utama mereka. Dua tahun berlalu [sejak 2017] dan akhirnya kami memutuskan untuk membuat single kolaboratif, “Salam Kenal”.

Ceritakan tentang proses Anda menulis lagu!

Biasanya Saya harus sendirian ketika menulis dan gak tahu kenapa tapi waktu terbaik untuk Saya menulis adalah di malam hari. Dan biasanya kapanpun Saya mengalami sesuatu yang traumatis, entah hal yang sedih maupun menyenangkan. Saya percaya kalau sesuatu yang menyenangkan juga bisa menyakiti Anda. Jadi selalu dimulai dengan mengalami sesuatu, mereasakan emosinya, lalu menuliskannya.

Salah satu lagu di EP berjudul “Growing Up”. Apakah itu bercerita tentang masa kecil Anda?

Setiap lagu yang Saya tulis berdasarkan dari refleksi diri. Tapi pengalaman pribadinya sendiri bukan datang dari masa kecil Saya. Itu lebih tentang proses tumbuh dewasa. Kita biasa mendengar ide tentang tumbuh dewasa kalau segala hal akan jadi jauh lebih mudah. Anda juga sering dengar orang bilang, “Kamu akan mengerti ketika sudah dewasa.” Tapi menurut Saya, semakin dewasa, bahkan sekarang hampir mencapai usia 30, Saya masih belum merasa kalau hidup jadi lebih mudah. Seperti pagi ini ketika mendapat kabar kalau pembimbing tesis Saya meninggal. Saya sudah mengalami banyak kehilangan dalam hidup sebelumnya, tapi mengapa pengalaman kehilangan ini tidak jadi semakin mudah? Jadi Saya rasa “Growing Up” lebih tentang hal tersebut.

Anda membicarakan tentang mereka yang melawan untuk keadilan dalam “Apati”, dan awal tahun ini Anda juga memulai sebuah gerakan menolak RUU Permusikan dengan musisi lain. Sejauh apa menurut Anda musik menciptakan perubahan sosial?

Ini adalah pertanyaan yang sulit karena Saya sendiri belum pernah melakukan penelitian mengenai dampak musik ke masyarakat. Tapi menurut Saya—meski Saya sendiri bukan musisi penuh waktu seperti teman-teman Saya [tertawa]—ketika pola pikir orang-orang mulai berubah, bahkan jika hanya sedikit sekalipun, dari mendengarkan musik yang kita ciptakan, itu sudah merupakan bentuk dari perubahan sosial yang konkret. Meskipun jumlahnya tidak signifikan untuk misalnya melakukan sebuah revolusi atau yang lain. Mungkin itu cara mudah untuk menjawabnya.

Tapi sebenarnya musik membentuk bagaimana seseorang melihat hidup secara umum. Ketika RUU Permusikan ini diajukan DPR awal tahun ini, kami menerima banyak sekali dukungan yang melawan RUU ini tidak hanya dari musisi tapi juga dari masyarakat luas. Musik memang memiliki bagian yang besar dalam perubahan sosial. Tapi perubahan macam apa yang diciptakan tergantung paa musisi tersebut dan orang-orang yang mendengarkan musik tersebut.

Isu apa yang sangat menjadi perhatian Anda?

Ada beberapa. Saya pikir ketidakmerataan ekonomi adalah salah saru akar masalah yang kita punya sekarang ini. Lalu ada juga tentang pendidikan kritis yang Saya rasa sudah hilang dan dihapus sejak lama, maka di sinilah kita sekarang, generasi masa bodoh yang dibentuk oleh Orde Baru. [tertawa] Jadi Saya benar-benar berharap kita bisa membangkitkan kesadaran kritis kita melalui pendidikan formal dan non-formal.

Selanjutnya adalah pembangunan dan infrastruktur. Menurut Saya ada cara alternatif untuk “memanusiakan” pembangunan karena rasaya kita sering mengorbankan kemanusiaan demi pembangunan. Saya ingin ada diskusi terbuka tentang isu-isu tersebut.

 

Saat ini kita sedang berada di lingkungan politik yang memanas. Bagaimana Anada tetap positif di situasi seperti ini?

Saya tidak positif. [tertawa] Sulit untuk tetap positif karena Saya bukan orang yang happy-go-lucky, khususnya ketika bekerja di bidiang penelitian dan kebijakan. Tapi jika Saya boleh memberikan sediki saran di tengah krisis ini adalah jangan putus asa. Seringkali kita bisa selalu menemukan harapan di sekitar kita.

Coba juga mengerti bagaimana pendapat orang lain pada iklim saat ini. Kita sangat biasa menghakimi orang lain yang tidak sependapat, tapi yang kita butuhkana adalah keberanian untuk membuka diri dan mengerti orang lain. Siapa tahu kalau kita sebenarnya menginginkan hal yang sama, meski cara untuk mendapatkannya berbeda.

Mari pindah ke topik yang lebih ringan. Anda mengunggah banyak sekali foto tentang berkebun dalam tagar #rarabenhomegarden. Bisakah ceritakan kami sedikit tentang kegemaran Anda ini?

Berkebun adalah hobi nomor satu di New Zealand, memancing adalah yang kedua. Saya menemukan kalau di sana orang-orang saling bertukar kebahagiaan melalui barter hasil kebun mereka. Seperti ketika bertemu dengan pembimbing skripsi Saya, dia bilang, “Saya punya bayam dari kebun!” dan Saya jawab, “Saya juga!” Pertukaran seperti itu sangat umum.

Di setiap lingkungan, mereka juga memiliki kebun yang diurus bersama dengan penduduk di sana. Jadi jika Anda tinggal di apartemen, Anda masih bisa menggunakan lahan tersebut untuk belajar berkebun atau menumbuhkan makanan Anda sendiri.

Saya tidak tinggal di Jakarta karena sebenarnya tidak suka dengan kotanya. Saya tinggal di Bogor dan menerapkan gaya hidup berkebun tersebut. Di Bogor lebih mudah untuk berkebun. Kami punya lahan kecil dan cuacanya juga lebih baik. Selain itu tingkat polusi udara juga tidak setinggi di Jakarta! Tapi tantangannya adalah menata kebun ini dan mengusir hama.

Pembicaraan ini semakin terdengar seperti pecinta Trubus! [tertawa] Di Indonesia, kita punya perubahan cuaca yang tidak dapat diprediksi yang berpengaruh pada pertumbuhan tanaman.

Apakah memiliki kekhawatiran pada lingkungan adalah salah satu alasan Anda terus berkebun?

Saya tidak makan daging jadi makannya lebih banyak sayuran. Sebenarnya Saya makan apapun yang disajikan ketika traveling karena sepertinya tidak sopan untuk menolak. Tapi di rumah, saya hanya makan sayur dan merasa kayaknya mudah kalau menanam sendiri makanan yang akan dimakan. Selain itu, Saya juga ingin tahu dari mana makanan Saya berasal, bagaimana menanam makanan tanpa pestisida, dan mencari tahu sulitkah menanam makanan sendiri, yang ternyata sulit! Tapi kemudian Saya mengerti mengapa makanan organik biasanya lebih mahal dari yang biasa.

Ben dan Saya juga percaya selain sebagai praktik sosial, berkebun juga dilakukan sebagai praktik spiritual. Sosial karena kita bisa selalu berbagi hasil panen dengan tetangga atau siapa saja dan spiritual karena kita bisa melihat bagaimana benih tumbuh menjadi tanaman yang nantinya tumbuh buah yang kita makan. Rasanya seperti mengikuti pertumbuhan seorang anak kan? Itu analogi yang bisa Saya berikan. [tertawa] Saya belum punya anak, tapi mungkin itu rasanya melihat benih tumbuh menjadi sesuatu yang memberi Anda nutrisi. Itulah pengalaman spiritualnya.

 

Bagaimana membagi waktu sebagai musisi, fotografer, dan akademisi?

Kadang jadwal ini membuat Saya stres! Tapi Saya selalu menyempatkan untuk berolahraga ketika sedang mengerjakan apapun. Saya suka berlari atau bersepeda keliling kompleks bersama anjing Saya, Fuku. Ini adalah sesuatu yang bisa Anda lakukan di daerah pinggiran tanpa perlu takut dengan masalah pernapasan. Saya juga memastikan untuk makan sehat setelah traveling. Biasanya Saya melakukan detox dengan makan sayur dan mengonsumsi lebih sedikit karbohidrat. Saya juga melakukan self-care dengan pijat dan menikmati waktu sendiri. Rasanya kita selalu menatap ponsel dan berinteraksi dengan orang lain, jadi menurut Saya benar-benar penting untuk kita mencari waktu sendiri agar tetap waras di metropolitan!

Baca Juga: Inilah 6 Cara Atasi Stres yang Mudah dan Cepat

You May Also Like